BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Tidak dapat disangkal bahwa saat ini dan di sini kita hidup dalam arus perubahan yang bergerak begitu cepat. Perubahan yang sangat menantang mahluk yang disebut “manusia” untuk selalu kreatif dan inovatif serta tanggap terhadap gerak perubahan. Perubahan ini telah merambah di berbagi aspek kehidupan, aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan.
Kita dapat menyebut era ini sebagai era perubahan. Era yang penuh tantangan dan kompetisi. Bagaimana tidak, terjadinya modernisasi dan globalisasi yang tidak dapat dibendung telah menjadikan dunia sebagai “kampung global” dimana jarak antara dunia yang satu dengan dunia yang lain tidak berarti.
Modernisasi dan globalisasi telah menghadapkan kita dengan berbagai tantangan baru. Tantangan akibat derasnya arus informasi yang mengalir pada masa ini dan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu saja perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bukti dinamika dan kemajuan akal manusia. Kondisi ini sangat menggembirakan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesulitan hidup yang dihadapi manusia makin mudah diatasi. Pada saat yang sama manusia dihadapkan pada berbagai problem diantaranya “bagaimana dapat menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia?”. Dan memang merupakan salah satu tujuan utama pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Di pihak lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu indikator untuk kemajuan suatu bangsa. Sejenak kita dapat melihat negara-negara yang dikategorikan sebagai negara maju seperti Amerika, Rusia, Jerman, Jepang dan beberapa negara maju lainnya adalah negara yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki peradaban yang tinggi.
Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang berhasrat untuk maju menghadapi tantangan besar ini. Oleh karena itu, dalam hal ini dunia pendidikan memiliki peranan yang cukup signifikan dalam menciptakan manusia unggul, yaitu manusia yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing dalam segala bidang termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sahono (2010) mengatakan bahwa untuk mencetak sumber daya manusia yang memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan pendidikan IPA sebagai sarana dalam pengembangan IPA dikalngan pelajar.
Hal di atas memberikan indikasi bahwa pentingnya upaya memberdayakan siswa secara maksimal dan meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar IPA di lembaga pendidikan.
Upaya meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar pada setiap jenjang pendidikan termasuk pada jenjang sekolah dasar telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Upaya itu dapat diperhatikan dari berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Misalnya memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualifikasi tenaga pendidikan, peningkatan profesionalisme pendidik melalui sertifikasi guru dan dosen, dan standarisasi penyelenggaraan pendidikan. Semua sudah dilakukan untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang maksimal.
Namun demikian, mutu pendidikan di tingkat sekolah dasar belum sesuai harapan. Secara umum mutu pendidikan sekolah dasar, khususnya siswa kelas IV SD.................................kota Makassar pada mata pelajaran IPA masih rendah.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rendahnya hasil belajar tersebut pada dasarnya tidak lepas dari peran guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Hal ini erat kaitannya dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Apakah pendekatan tersebut sesuai dengan konteks: konteks dengan materi dan tujuan pembelajaran, potensi dan latar belakang siswa serta konteks dengan situasi dan lingkungan belajar?. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang sangat penting terutama yang menyangkut pendekatan yang digunakan dalam proses belajar yang juga akan ikut menentukan tinggi-rendahnya hasil dan tercapainya tujuan pembelajaran IPA. Kenyataan lain menunjukkan bahwa pelajaran IPA oleh sebagian siswa dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan rumit dan untuk mempelajarinya siswa harus siap berkerut kulit muka. Perasaan sulitnya pelajaran IPA bagi siswa tentu saja dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan guru yang tidak mampu membuat siswa merasa nyaman, enjoi, dan menikmati dalam kegiatan belajar. Lebih jauh akan berimplikasi pada malas dan tidak senangnya siswa pada mata pelajaran IPA sehingga mempengaruhi hasil belajarnya.
Memperhatikan pentingya penguasaan pelajaran IPA oleh siswa dan penyebab rendahnya hasil belajar siswa seperti yang telah diurai di atas, adalah penting untuk melakukan terobosan baru guna menciptakan suasana belajar yang efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas belajar siswa. Terobasan baru itu adalah inovasi dan pergeseran paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang cenderung membuat siswa pasif menjadi siswa yang bergerak secara massif dalam kegiatan belajar. Sebagai salah satu alternatif ke arah tersebut adalah dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran.
Pada pendekatan keterampilan proses siswa diberikan keluasan untuk ikut dan terlibat secara langsung dalam segala bentuk proses penemuan dan konstruksi pengetahuan dalam menyelesaikan semua problem yang dihadapinya. Pendekatan keterampilan proses mengarahkan guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar siswa, bukan sebagai pemberi dan sumber utama pengetahuan tetapi siswa dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan, melaksanakan dan menemukan serta menilai sendiri semua jalan memperoleh pengetahuan. Siswa melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpula-kesimpulan sendiri (Syaiful, 2011: 74).
Kondisi pembelajaran yang demikian seperti yang dijelaskan pada bagian akhir di atas sangat konteks dengan pendekatan yang harus digunakan dalam pembelajaran IPA dimana pembelajaran IPA menuntut untuk melakukan pengamatan dan percobaan secara langsung terhadap gejala-gejala dan peristiwa alam. Dan memang di era penemuan seperti saat sekarang pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan siswa hanya pada menghafal dan mengumpulkan informasi semata dan hampa pengalaman langsung harus ditinggalkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan satu permasalahan yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini “bagaimana meningkatkan hasil belajar IPA melalui penerapan pendekatan keterampilan proses pada siswa kelas IV SD....................................kota Makassar?”.
C. Tujuan Penelitian
Jika beranjak dari rumusan masalah yang telah dirumuskan di atas secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPA melalui penerapan pendekatan keterampilan proses pada siswa kelas IV SD................................kota Makassar.
Selain untuk meningkatkan hasil belajar siswa penelitian ini juga bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran serta membantu memberdayakan guru dalam mengatasi kesulitan proses belajar mengajar di kelas.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. a) Bagi sekolah hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi tentang berbagai pendekatan yang dapat diguanakan dalam proses belajar mengajar khususnya dalam mata pelajaran IPA.
b) Bagi guru hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif dalam proses belajar mengajar IPA pada siswa kelas IV sekolah dasar, serta diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru dalam mengatasi masalah di dalam proses belajar mengajar.
c) Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan proses serta menambah wawasan dalam menggunakan pendekatan tersebut dalam proses belajar mengajar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Konsep Dasar IPA di SD
IPA merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan alam. Dalam kepustakaan asing dikenal dengan sebutan natural science yang sering dilawankan dengan social science. Pada setiap jenjang pendidikan formal mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang harus ada mulai pada tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat sekolah dasar IPA lazimnya disebut dengan pendidikan/mata pelajaran “sains”. Mengapa pendidikan ilmu pengetahuan alam atau natural science atau “sains” sangat penting sehingga menjadi mata pelajaran wajib di dunia pendidikan? Untuk melacak jawaban dari pertanyaan tersebut kita dapat mencermati dari beberapa pengertian yang telah dirumuskan oleh beberapa teoretisi di bawah ini.
Carin (Marleviandra, 2009) mendefinisikan natural science/science sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, yang di dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangan science tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan fakta saja, tetapi juga oleh timbulnya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Sedangkan Semiawan 1999 (Sahono, 2010:7) mendefinisikan IPA sebagai pengkajian dan penterjemahan pengalaman manusia tentang dunia fisik, yang mencakup semua aspek pengetahuan yang dihasilkan oleh metode saintifik yang tidak terbatas pada fakta dan proses saintifik tetapi juga berbagai aplikasi pengetahuan dan prosesnya seperti pengamatan, perkiraan dan penilaian serta interpretasi. Dengan demikian IPA adalah produk atau hasil dari proses penyelidikan ilmiah yang dilandasi oleh sikap dan nilai-nilai tertentu.
IPA (ilmu pengetahuan alam) berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam serta gejala-gejala dan peristiwanya yang masih penuh dengan misteri yang tak terungkan melalui metodologi ilmiah (saintik). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh seorang ahli filsafat, Kemeny (Kusdiyanto, 2010) yang mendefinisikan IPA sebagai semua pengetahuan yang diperoleh dengan metode ilmiah (meliputi siklus induksi, deduksi, verifikasi dan pencarian terus menerus).
Pada tempat yang berbeda, Whitehed (Marleviandra, 2009) menyatakan bahwa science dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman. Orde pertama didasarkan pada hasil observasi terhadap gejala/fakta yang disebut orde observasi dan orde kedua yang didasarkan pada konsep manusia mengenai alam semesta yang disebut orde konsepsional.
Atas dasar beberapa pemikiran tentang hakikat IPA di atas, Nur 1983 (Sahono, 2010:7) menyimpulkan bahwa IPA secara garis besar dapat didefinisikan atas tiga komponen, yaitu (1) sikap ilmiah, misalnya objektif dan jujur; (2) proses ilmiah, misalnya merancang dan melaksanakan eksperimen; dan (3) produk ilmiah, misalnya prinsip, hukum dan teori.
Dengan demikian dengan mengacu pada berbagai pengertian IPA di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran IPA yang hanya dilakukan secara teoretis yang tidak melibatkan secara langsung siswa dalam proses observasi dan ekperimentasi melalui metodologi saintifik (metode ilmiah) tidak memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam mencapai arah pembelajaran IPA.
2. Arah Pembelajaran IPA di SD
Sedikit banyak telah diuraikan pada bagian latar belakang pembelajar IPA pada dasarnya untuk mengarahkan siswa pada penguasaan terhadap dasar-dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Arini (2011) mengemukakan bahwa pembelajaran IPA diarahkan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Selain seperti yang diutarakan Arini di atas, Trianto (2010:141-142) mengemukakan bahwa pembelajaran IPA diarahkan untuk menjadikan siswa memiliki (1) kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah; (2) keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah; (3) memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun dalam kehidupan.
Untuk dapat mencapai arah atau tujuan pembelajaran IPA seperti yang disebutkan di atas adalah salah satu elemen yang sangat penting untuk menciptakan suasana belajar dimana siswa dapat dengan sendirinya menemukan dan membangun sendiri makna dari belajarnya.
3. Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran IPA di SD
Beberapa teori belajar yang mendukung pembelajaran IPA adalah teori belajar cognitive-defelopmental John Piaget, teori belajar cognitive-field Kurt Lewin, teori belajar discovery learning Jerome Bruner, dan teori belajar konstruktivisme. Keempat teori belajar tersebu akan dijelaskan secara singat di bawah ini.
1. Teori Belajar Cognitive-Defelopmental John Piaget
John Piaget adalah salah satu teoretisi psikologi kognitif yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan teori belajar kognitif. Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang melibatkan mekanisme biologis perkembangam system saraf. Hal ini berarti semakin bertambah usia seseorang akan semakin kompleks susunan sarafnya yang pada akhirnya akan makin meningkat pula kemampuannya.
Ketika seseorang berkembang menuju kedewasaan-menurut teori ini-akan mengalami adaptasi secara biolgis dengan lingkungan sekitarnya yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan secara kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Dalam proses adaptasi ini menurut Piaget (Syaiful, 2011) melibatkan dua proses yaitu proses asimilasi dan proses akomodasi. Proses asimilasi adalah prose mennyesuaikan atau mencocokkan informasi baru yang didapat dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya, dan proses akomodasi adalah proses menyusun atau membangun kembali pengetahuan sebelumnya sehingga pengetahuan baru itu dapat disesuaikan dengan baik.
Dalam kedua proses itulah juga berlangsung perkembangan kogntif seseorang. Perkembangan kognitif seseorang akan mengikuti logika tahap perkembangan. Piaget (Dalyono, 2005:39) mengemukakan empat tahap perkembangan sebagai berikut.
1) Tahap sensori motor. Ini merupakan tahap yang paling awal yang terjadi pada usia 0-2 tahun. Pada periode ini seseorang tidak mempunyai konsepsi objek yang tetap dan hanya dapat mengenal lingkungannya dengan kemampuan sensorik seperti indera penciuman, pendengaran, peraba dan lain-lain.
2) Tahap praoperasional. Terjadi pada usia 2-7 tahun. Pada periode ini anak belum mampu melalukan operasi-operasi yang melibatkan faktor mental. Tetapi pada tahap ini anak sadah mampu menggunakan symbol, bahasa, membuat gambar gan menggolong-golongkan.
3) Tahap operasi konkret. Terjadi pada usia 7-11 tahun. Pada tahap ini seseorang sudah mampu memgembangkan pikiran secara logis dan rasional.
4) Tahap operasi formal. Terjadi pada usia 11 tahun dan seterusnya ke atas. Pada tahap ini seseorang sudah dapat berpikir secara abstrak pada hal-hal yang lebih kompleks layaknya seperti orang dewasa.
2. Teori Belajar Cognitive-Field Kurt Lewin
Dalam penelitiannya Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar cognitive-field dengan menaruh perhatian pada persoalan kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-mading individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi yang disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang-orang yang ia jumpai, objek materil yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan internal yang terdapat dalam diri seseorang, seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri seseorang, seperti sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi intemal seseorang. Lewin memberikan peranan yang lehih penting pada motivasi dari ganjaran.
3. Teori Belajar Discovery Learning Jerome Bruner
Bruner mengembangkan belajar penemuan yang disebut discovery learning yang berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Pada discovery learning siswa didorong untuk belajar secara mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip-prinsip. Carin 1985 (Fatmawati, 2010) mengatakan discovery merupakan suatu proses di mana siswa atau individu mengasimilasi proses konsep dan prinsip-prinsip. Discovery terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan mentalnya agar memperoleh pengalaman, sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau prinsip. Lebih lanjut Fatmati (2010) bahwa roses-proses mental itu melibatkan perumusan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melaksanakan eksprimen, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan.
Jerome Bruner, sama dengan John Piaget, dengan pandangan yang berbeda membagi perkembangan kognitif seseorang pada beberapa tahap, yaitu (1) tahap enaktif, tahap dimana seseorang melalukan aktivitas untuk memahami dunia di sekitarnya dengan menggunakan pengetahuan motoriknya, seperti melalui gigitan, sentuhan dan pegangan; (2) tahap ikonik, yaitu seseorang memahami objek-objek atau dunianya dengan perantara gambar dan visualisasi verbal; dan (3) simbolik, yaitu pada tahap ini seseorang telah memiliki ide dan gagasan yang bersifat abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan berlogika.
Dalam kegiatan belajar bagi Bruner yang terpenting adalah bagaimana cara orang memilih, mempertahankan dan mentransformasi informasi secara efektif. Oleh karena itu, menurut Bruner (Syaiful, 2011:35) dalam proses belajar ada tiga fase yang terjadi, yaitu (1) informasi, fase mengumpulkan, menambah dan memperdalam pengetahuan; (2) transformasi, yaitu fase analisis terhadap pengetahuan sebelumnya ke dalam bentuk yang lebih abstrak dan konseptual agar dapat digunakan pada hal-hal yang lebih luas; dan (3) evaluasi, yaitu fase menilai sejauh mana pengetahuan yang telah diperoleh dan transformasi itu dapat digunakan untuk memahami gejala-gejala yang terjadi. Menurtnya-Bruner- tiga fase ini akan selalu ada dalam kegiatan belajar.
Satu hal yang menarik dari pandangan Bruner adalah bahwa menurutnya faktor budaya juga ikut mempengaruhi terhadap tingkah laku seseorang. Bruner berpendapat bahwa proses belajar akan dapat berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia sering temukan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme memandang bahwa belajar merupakan proses pembentukan, penemua dan konstruksi pengetahuan. Penemuan dan konstruksi pengetahuan ini harus dilakukan oleh siswa itu sendiri. Siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan dan memberikan makna terhadap hal-hal yang dipelajarinya. John Dewey 1910 (Dimitrios, 2011) salah seorang konstruktistik mengatakan bahwa
hanya dengan bergulat dengan kondisi dari masalah di tangan, mencari dan menemukan solusi sendiri bukan dalam isolasi tetapi dalam korespondensi dengan guru dan murid lainnya seseorang belajar.
Hal ini berarti dalam pandangan teori konstruktivisme guru dalam kegiatan belajar harus berperan sebagai fasilitator bagi siswa dalam menemukan pengetahuannya. Pembelajaran adalah hasil dari usaha siswa sendiri.
Untuk dapat membantu siswa menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan baru dalam proses pembelajaran guru sebagai fasilitator harus mempertimbangkan struktur kognitif siswa. Artinya penyajian terhadap muatan pembelajaran harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan siswa (lihat tahap perkembangan menurut Piaget).
Lebih lanjut John Dewey, menegaskan teori ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang efisien harus melaksanakan kegiatan belajar mengajar sebagai proses menyusun dan membengun pengalaman secara terus menerus. Paradigma seperti memberikan arti pada pentingnya proses dalam kegiatan belajar bukan hasil.
Teori konstruktivisme memandang seseorang dalam memperoleh pengetahuan dengan cara mencoba dan memberi arti dan makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Hal ini sesuai dengan bebera aspek konstruktivisme yang dikemukakan Fornot (Dania, 2009) yaitu (1) adaptasi; (2) konsep pada lingkungan; dan (3) pembentukan makna.
Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai individu-individu yang memiliki fitur-fitur perlakuan yang berbeda di mana setiap individu tersebut dianggap penting dan perlu diberikan perhatian yang wajar. Mereka diberikan kebebasan dan kesempatan yang luas untuk membuat dan menentukan keputusannya sendiri tentang hal-hal yang mereka akan pelajari. Melalui hal ini mereka akan lebih bertanggung jawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.
4. Pengertian Hasil belajar IPA
Hasil belajar merupakan suatu hasil akhir yang diperoleh siswa setelah melakukan proses belajar. Penentuan hasil belajar dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut tes untuk meninjau sejauh mana tingkat pemahaman dan penguasaan siswa pada materi yang telah diajarkan pada suatu materi pelajaran.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini, hasil belajar IPA dapat diartikan sebagai segala perubahan kemampuan yang terjadi pada siswa berkenaan dengan mata pelajaran IPA sebagai hasil dari mengikuti proses belajar mengajar. Pencapaian hasil belajar siswa mencakup perubahan kemampuan dalam hal memahami konsep, proses dan sikap IPA.
Sehubungan dengan pengertian belajar, Rebel 1989 (Syah, 2008:66) memberi defenisi belajar dengan dua macam defenisi. Pertama, belajar adalah proses memperoleh pengtahuan. Kedua, belajar adalah suatu perubahan kemampuan beraksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang dipekuat. Senada dengan pendapat Gagne di atas, Hamalik (2002: 54-55) mengetengahkan beberapa prinsip dalam belajar sebagai berikut.
1) Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan pengembangan dan perilaku siswa.
2) Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu.
3) Belajar dilaksanakan dengan latihan daya- daya, membentuk hubungan asosiasi, dan melalui penguatan.
4) Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman, bersifat kritis, dan reorganisasi pengalaman.
5) Belajar membutuhkan bimbingan baik secara langsung oleh guru maupun secara tak langsung melalui bantuan pengalam pengganti.
6) Belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar diri individu.
7) Belajar sering dihadapkan kepada masalah dan kesulitan yang perlu dipecahkan. dan
8) Hasil belajar dapat ditransferkan ke dalam situasi lain.
Dalyono (2005:49) mendefinisikan belajar sebagai suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, yang mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, dan keterampilan, sehingga dalam konteks ini belajar merupakan proses kegiatan manusia yang mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh individu, baik fisik maupun non fisik dalam rangka menjadikan dirinya sebagai manusia yang utuh, seperti yang dicita-citakan dalam undang-undang.
Dalam proses belajar mengajar, peserta didik adalah subyek dan sekaligus sebagai obyek dari kegiatan belajar. Oleh karena itu, inti dari proses belajar adalah kegiatan belajar peserta didik, sehingga tidak heran berbagai teori dan orientasi pembelajaran lebih ditekankan pada peserta didik. Hilgard dan Brower (Hamalik, 2002) mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktifitas, praktek, dan pengalaman. Tentu saja yang melakukan praktek, beraktifitas dalam hal ini adalah peserta didik yang dibimbing oleh guru.
Thorndike (Sardiman, 2008: 33) mengatakan dasar dari belajar adalah asosiasi antara kesan panca indera deangan impuls untuk bertindak. Asosiasi yang demikian disebut connecting. Dengan perkataan lain, bealajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi.
Mengenai hubungan antara stimulus dan respon tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip sebagai berikut.
1) Law of effect. Hubungan stimulus dan respon akan beratambah erat kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa lenyap kalau disertai perasaan tidak senang. Konsekuensi dari hukum ini bahwa adanya usaha memotivasi, membesarkan hati, memuji sangat diperlukan dalam kegiatan bealajar. Sedangkan hukuman akan kurang mendukung dalam usaha menciptakan proses pembelajaran yang kondusif.
2) Law of multiple response. Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respons yang tepat itu tidak segera tampak, sehingga individu yang belajar haurs berulang kali melakukan percobaan sampai respon itu muncul dengan tepat. Proses inilah yang dikemudian hari dalam belajar disebut trial and error.
3) Law of exercise atau law of use and disuse. Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau sering dipakai dan akan berkurang dan bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh karena itu, menurut hukum ini dalam belajar perlu banyak latihan dan ulangan serta pembiasaan.
4) Law of assimilation atau law of analogy. Menurut hukum ini seseorang dapat menyesuaikan diri atau member respon yang sesuai dengan situasi sebelumnya.
Jika disimpulkan dari sejumlah pandangan dan definisi tentang belajar seperti yang telah diuraikan di atas, menurut Aunurrahman (2009:35) kita akan menemukan beberapa ciri umum kegiatan belajar sebagai berikut.
1) Belajar menunjukkan suatu aktifitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja. Ini berarti bahwa proses belajar merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja atau direncanakan.
2) Belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungannya. Dalam hal ini lingkungan dapat berupa manusia atau objek-objek lain yang memungkinkan individu memperoleh pengalaman baru.
3) Hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku. Yang perlu diketahui, tidak semua perubahan merupakan hasil belajar. Perubahan-perubahan yang tidak termasuk hasil belajar, seperti perubahan karena mabuk, sakit dan lain-lain. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar, seperti perubahan pada aspek afektif, misalnya siswa santun dalam berbicara, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, jujur, semakin bertanggung jawab, dan perubahan keamampuan berpikir.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Dalam suatu kegiatan apapun ada hal di mana seseorang terdorong dan tidaknya dalam melakukan sesuatu. Tak terkecuali dalam kegiatan belajar. Seseorang kadang melakukan belajar dengan sangat rajin dan kadang juga kita menemukan ada orang sangat malas untuk melakukan kegiatan belajar. Fenomena tersebut tentu saja adalah suatu hal yang lazim ditemukan karena memang dalam kegiatan belajar ada beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Secara umum ada dua faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan aktifitas belajar, yaitu faktor yang berasal dari dalam subjek belajar (faktor internal) dan faktor yang bersumber dari luar subjek belajar (faktor eksternal).
Ahmadi dan Joko (2005) membedakan faktor internal menajadi dua, yaitu kondisi fisiologis dan kondisi psikologis. Kondisi fisiologis adalah kondisi yang berhubungan dengan fisik. Kondisi fisik yang tidak normal, misalnya kondisi badan yang lemah, keadaan fisik yang cacat (fungsi mata dan pendengaran tidak berfungsi dengan baik), kurang gizi, dan sebagainya akan menyebabkan proses dan hasil belajar tidak maksimal. Seseorang yang kondisi fisiknya normal, misalnya tidak kekurangan gizi, penglihatan, dan pendengarannya berfungsi dengan baik, dan kondisi fisik lainnya normal akan sangat membantu keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Ini berarti bahwa kondisi fisik seseorang yang akan belajar sangat mempengaruhi proses dan hasil belajarnya. Sedangkan kondisi psikologis adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan (1) minat, kecerdasan, (3) motivasi, (4) bakat, dan kemampuan kognitif, misalnya persepsi, ingatan, dan kemampuan berpikir.
Faktor eksternalpun akan sangat menentukan tingkat dan pencapaian hasil belajar seseorang. Beberapa yang termasuk faktor ekternal (lingkungan) tersebut sebagai berikut.
1) Faktor keluarga.
Situasi dan suasana kehidupan keluarga sangat berpengaruh pada keberhasilan seseorang. Misalnya, pendidikan orangtua, keadaan ekonomi, rumah, hubungan dengan orangtua dan saudara, bimbingan orangtua, dukungan orangtua, sangat mempengaruhi hasil belajar seseorang.
2) Faktor sekolah.
Secara tidak langsung keadaan sekolah seseorang tempat melaksanakan kegiatan belajar jugat ikut mempengaruhi hasil belajar seseorang. Seperti gedung sekolah, kualitas guru, perangkat kelas, relasi teman sekolah, rasio jumlah siswa per kelas.
3) Faktor masyarakat
Apabila kondisi masyarakat sekitar adalah masyarakat yang berpendidikan dan memiliki moral yang baik, terutama anak-anak mereka. Hal ini dapat menjadi pemicu seseorang untuk melakukan belajar.
4. Hakikat Pendekatan Keterampilan Proses
Penerapan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran diinspirasi dan dilatarbelakangi oleh teori belajar naturalisme romantis dan teori belajar kognitif gestalf (Syaiful, 2011).
Pendekatan keterampilan proses merupakan suatu pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan mental, fisik dan sosial yang mendasar sebagai daya dorong dalam mengarahkan kemampuan yang lebih tinggi dalam diri siswa. Pendekatan keterampilan proses juga menekankan pada pertumbuhan dan pengembangan keterampilan tertentu yang ada pada diri siswa agar mereka mampu memproses informasi dan mampu menemukan hal-hal baru seperti fakta dan konsep.
Sejalan dengan hal di atas, Moedjiono, (1993:14) mengatakan bahwa pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan dalam pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan mendasar yang prinsipnya telah ada dalam diri siswa.
Dengan nada yang berbeda Semiawan (Nasution, 2007:19-110) juga mengatakan bahwa keterampilan proses adalah keterampilan fisik dan mental terkait dengan kemampuan-kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai dan diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiah, sehingga para ilmuan berhasil menemukan sesuatu yang baru.
Pendekatan keterampilan proses adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kegiatan ketrampilan proses yang digunakan untuk mengungkap dan menemukan fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai yang diperlukan oleh siswa. Proses pembelajaran dengan pendekatan ini dimulai dari obyek nyata atau obyek yang sebenarnya dengan menggunakan pengalaman langsung, sehingga siswa diharapkan terjun dalam kegiatan belajar mengajar yang lebih realistis, dan siswa juga diajak ,dilatih, dan dibiasakan melakukan observasi langsung dan membuat kesimpulan sendiri.
Conny, 1990 (Sanjaya, 2011) mengungkapkan bahwa pendekatan keterampilan proses adalah pengembangan sistem belajar yang mengefektifkan siswa dengan cara mengembangkan keterampilan memproses dalam memperoleh pengetahuan sehingga siswa akan menemukan, mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai yang dituntut dalam tujuan pembelajaran.
Beranjak dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa penerapan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajara khususnya pada mata pelajaran IPA sangat penting. Bagaimana tidak, dalam pendekatan keterampilan proses siswa diberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan, tetapi pendekatan keterampilan proses tidak bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi ilmuwan.
Dengan demikian siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep dan teori-teori dengan keterampilan intelektual dan sikap ilmiah siswa sendiri. Proses ilmiah merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari IPA. Karena objek kajian IPA adalah alam semesta yang dapat diindra oleh panca indra secara langsung, sebab itu kajian IPA bersifat konkret. Misalnya ketika mempelajari konsep tumbuh-tumbuhan seharusnya dipelajari secara langsung pada objeknya. Sebagai suatu konsep tumbuh-tumbuhan merupakan konsep yang abstrak, tetapi objeknya konkret seperti bunga mawar, rumput dan lain-lain.
Sebagai suatu pendekatan yang melibatkankan sikap ilmiah dalam kegiatannya, maka ada beberapa kemampuan dasar yang akan dikembangkan dan yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik oleh siswa dalam pendekan ini. Beberapa kemampaun dasar tersebut menurut Lutfiadi (2009:7) adalah (1) keterampilan mengobservasi; (2) keterampilan menghitung; (3) keterampilan mengukur; (4) keterampilan mengklasifikasi; (5) keterampilan mencari hubungan antara ruang dan waktu; (6) keterampilan membuat hipotesis; (7) keterampilan merencanakan penelitian atau eksperimen; (8) keterampilan mengendalikan verbal; (9) keterampilan menafsirkan data; (10) keterampilan meramalkan; (11) keterampilan menerapkan; dan (12) keterampilan mengkomunikasikan.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Darmojo dan Kaligis (1992:51) bahwa beberapa keterampilan proses dalam pengajaran IPA di sekolah dasar sebagai berikut.
1) Keterampilan mengobservasi.
2) Keterampilan mengklarifikasi.
3) Keterampilan menginterpretasi.
4) Keterampilan memprediksi.
5) Keterampilan membuat hipotesis.
6) Keterampilan mengendalikan variabel.
7) Keterampilan merencanakan dan melakukan penelitian.
8) Keterampilan menyimpulkan atau inferensi.
9) Keterampilan menerapkan atau aplikasi.
10) Keterampilan mengkomunikasikan.
Untuk mendapatkan gambaran secara singkat beberapa keterampilan di atas dapat diperhatikan uraian di bawah ini.
1. Keterampilan mengobservasi.
Keterampilan mengobservasi merupakan keterampilan menggunakan semua alat indera, seperti indera penglihatan, peraba, parasa, pencium, dan pendengaran untuk memperoleh semua informasi dan data dari objek yang diobservasi. Yang termasuk dalam keterampilan mengobservasi, seperti keterampilan membedakan, mengukur dan menghitung.
2. Keterampilan mengklarifikasi.
Keterampilan mengklarifikasi adalah suatu keterampilan menggolongkan suatu objek pengamatan berdasarkan persamaan dan perbedaan karakteristik objek.
3. Keterampilan menginterpretasi.
Adalah suatu keterampilan untuk menafsirkan data-data dan informasi yang telah diperoleh.
4. Keterampilan memprediksi.
Yaitu keterampilan untuk memperkirakan atau meramalkan suatu peristiwa atau kejadian yang akan terjadi berdasarkan data-data atau informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
5. Keterampilan membuat hipotesis.
Hipotesis dapat diartikan sebagai praanggapan atau dugaan tentang kenyataan-kenyataan yang belum dibuktikan yang dilakukan melalui proses pemikiran. Jadi, keterampilan membuat hipotesis adalah keterampilan membuat dugaan tentang suatu kejadian yang akan terjadi melalui proses pemikiran.
6. Keterampilan mengendalikan variabel.
Keterampilan mengendalikan variabel adalah kemampuan untuk mengisolasi variabel yang tidak diteliti sehingga terjadi perbedaan pada hasil eksperimen dari variabel yang diteliti.
7. Keterampilan merencanakan dan melakukan penelitian.
Suatu keterampilan dalam merumuskan masalah, membuat hipotesis, dan menguji hipotesis.
8. Keterampilan menyimpulkan.
Suatu keterampilan dalam menarik suatu kesimpulan akhir dari seluruh proses yang telah dilakukan.
9. Keterampilan menerapkan atau aplikasi.
Suatu keterampilan yang berupa kemampuan untuk mempergunakan konsep-konsep yang bersifat abstrak atau pengetahuan yang diperoleh pada situasi lain atau situasi baru.
10. Keterampilan mengkomunikasikan.
Yaitu suatu keterampilan untuk menyampaikan konsep-konsep atau yang telah diperoleh kepada pihak lain baik secara lisan maupun tulisan.
Pada tempat lain (Syaiful, 2011:74) mengatakan untuk mengembangkan kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa dalam pendekatan keterampilan proses ada beberapa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut sebagai berikut.
1) Mengamati gejala yang timbul.
2) Mengklarifikasi sifat-sifat yang sama atau serupa.
3) Mengukur besaran-besaran yang bersangkutan.
4) Mencari hubungan antara konsep-konsep yang ada.
5) Mengenal adanya suatu masalah, merumuskan masalah.
6) Memperkirakan penyebab suatu gejala, merumuskan hipotesa.
7) Meramalkan gejala yang mungkin akan terjadi.
8) Berlatih menggunakan alat-alat ukur.
9) Melakukan percobaan
10) Mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan data.
11) Berkomunikasi, dan
12) Mengenal adanya fariabel dan mengendalikan suatu fariabel.
Pentingnya penerapan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar diperkuat oleh Conny, 1990 (Sanjaya, 2011) yang mengemukakan bahwa penerapan pendekatan keterampilan proses didasari dengan alasan sebagai berikut.
1) Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan konsep kepada siswa.
2) Para ahli psikologi umumnya berpendapat bahwa anak-anak muda memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh kongkrit.
3) Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat relatif benar seratus persen penemuannya bersifat relatif.
4) Dalam proses belajar mengajar pengembangan konsep tidak dilepaskand ari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, di era perubahan dan era pengetahuan yang mengalir deras dan cepat seperti saat sekarang ini memang menuntut pendekatan pembelajaran yang mampu membuat siswa menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan-pengetahuannya dengan jalan mengamati dan melakukan penelitian secara langsung pada objek pengetahuan. Karena dengan jalan inilah siswa akan menemukan makna sesungguhnya dari belajar dan dengan makna itulah siswa memiliki alasan untuk belajar.
B. Kerangka Teori
Belajar dan mengajar adalah dua aspek dari satu proses yang disebut pendidikan. Guru adalah pendidik yang melaksanakan proses mengajar sebagai tugasnya. Perlu dipahami guru dalam hal ini tidak diartikan sebagai seseorang yang mengetahui dan menguasai segala sumber ilmu pengetahuan kemudian mentransfernya secara sempurna pada siswa, tetapi guru lebih dipahami sebagai fasilitator bagi siswa yang membimbing dan mengarahkan bagaimana siswa seharusnya belajar. Kedua proses tersebut diharapkan dapat memberikan hasil belajar yang maksimal berupa perubahan pola pikir dan perilaku siswa sesuai dengan yang diharapkan.
Suatu harapan yang diharapkan oleh setiap guru yang melaksanakan tugasnya sebagai pengajar. Selain hal di atas, tentu saja hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan siswa mengalami ketuntasan belajar adalah harapan yang sangat besar. Memenuhi harapan-harapan ini adalah hal yang cukup sulit namun bukan hal yang mustahil. Kesulitan tersebut dikarenakan siswa bukan hanya sebagai individu dengan berbagai keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berbeda. Ada beberapa aspek yang membedakan antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektual, psikologis, dan biologis. Sehingga guru dituntut untuk mampu memilih pendekatan pembelajaran yang mampu mengakomodasi berbagai keunikan dan latar belakang sosial siswa yang berbeda-beda serta yang sesuai dengan materi pelajaran.
Pada sisi yang lain, pendekatan yang dipilih tersebut harus mampu membuat siswa mengalami secara langsung pada objek pembelajaran, siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka sehingga mereka dapat menemukan makna dari hasil belajarnya karena dengan makna tersebut mereka memiliki alasan untuk belajar.
Dalam penelitian ini penerapan pendekatan keterampilan proses menjadi salah satu alternatif yang dianggap dapat mengatasi problem di atas.
Secara umum kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagaimana yang tampak di bawah ini.
Kerangka Teori
C. Hipotesis
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan kajian pustaka di atas, dapat ditarik satu hipotesis penelitian bahwa dengan menerapkan keterampilan proses sebagai pendekatan dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Inpres Mallengkeri II kecamatan Tamalate kota Makassar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian tindakan kelas merupakan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam bahasa inggris penelitian tindakan kelas disebut classroom action research yaitu suatu penelitian yang dilakukan di ruang kelas untuk meningkatkan kualitas belajar dan pembelajaran. Supardi (2009:105) mengartikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu pendekatan untuk meningkatkan pendidikan dengan melakukan perubahan ke arah perbaikan terhadap hasil pendidikan dan pembelajaran.
B. Tempat dan Subjek Penelitian
Penelitian ini bertempat di SD Inpres Mallengkeri II kecammatan Tamalate kota Makassar.
Sedangkan subjek dalam penelitia ini adalah siswa kelas IV SD Inpres Mallengkeri II kecammatan Tamalate kota Makassar pada semester ganji tahun ajaran 201/2012.
C. Faktor yang Diteliti
Penelitian ini akan meneliti tiga faktor yaitu faktor siswa, proses pembelajaran, dan hasil pembelajara.
1) Faktor siswa, yaitu meneliti apakah terjadi peningkatan daya serap dan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran IPA, baik secara individu maupun kelompok dan mengamati apakah terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari yang sebelumnya.
2) Faktor proses pembelajaran, yaitu interaksi antara guru dengan siswa berupa tanggapan atau respon, serta interaksi antara siswa dengan siswa berupa kerja sama dalam kelompok agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung efektif dan efisien dan dinamika siswa dalam proses belajar secara berkelompok.
3) Faktor hasil, yaitu untuk melihat apakah terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada mata IPA setelah melalui dan diadakan tes.
D. Prosedur Penelitian
Pelaksanaan prosedur penelitian ini melalui dua siklus yaitu siklus 1 dan siklus 2. Setiap siklus proses belajar mengajar akan dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan dengan waktu 2x45 menit setiap pertemuan. Siklus tersebut akan melalui beberapa tahapan sebagaimana yang dikatakan Supardi (2009:104) yang terdiri dari (1) perencanaan tndakan (planning); (2) penerapan tindakan (action); (3) mengobservasi dan mengevaluasi proses dan hasil tindakan (observation and evaluation); (4) dan melakukan refleksi (reflecting).
Prosedur dan tahapan penelitian di atas dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti yang tampak di bawah ini.
Perencanaan
Refleksi
Tindakan/
Observasi Perbaikan
Rencana
Refleksi
Tindakan/
Observasi Perbaikan
Rencana
Refleksi
Tindakan/
Observasi Dan seterusnya
Gambar 1. Spiral penelitian tindakan kelas menurut Hopkins 1993 (Supardi, 2009:105)
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Inpres Mallengkeri II kecammatan Tamalate kota Makassar.
2. Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah adalah data hasil observasi peneliti yang diperoleh dengan menggunakan lembar observasi kegiatan guru dan siswa. Sedangkan data kuantitatif adalah data hasil belajar siswa setiap akhir siklus yang diperoleh dengan menggunakan lembar evaluasi.
F. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah dikumpul akan dianalisa dengan menggunakan dua cara. Pertama, data yang dihasilkan melalui lembar observasi akan dianalisa secara kualitatif. Kedua, data yang dihasilkan melalui lembar evaluasi dan tes akan dianalisis secara kuantitatif.
Untuk menentukan kategori skor keberhasilan siswa dalam belajarnya pada setiap siklus akan digunakan skala lima. Skala lima tersebut menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Mustafa, 2010:38) adalah sebagai berikut.
Tabel. Kategorisasi skala lima
Skor Kategori
0-34 Sangat Rendah
35-54 Rendah
55-64 Sedang
65-84 Tinggi
85-100 Sangat Tinggi
G. Indikator Keberhasilan
Untuk dapat dikatakan suatu penelitian telah berhasil harus memenuhi indikator tertentu, penelitian apa pun itu. Oleh karena itu, penelitian ini dikatakan telah berhasil apabila hasil belajar siswa mengalami peningkatan pada setiap siklus dan bila dibandingkan dengan hasil belajar siswa sebelum menerapkan keterampilan proses dalam kegiatan belajar. Peningkatan ini ditandai dengan meningkatnya skor hasil belajar IPA siswa minimal 60% dari skor ideal dan secara klasik siswa dikatakan tuntas apabila hasil akhir belajar siswa memdapat skor 85%.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu H.,dan Joko Tri Prasetya. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Bandung Pustaka Setia.
A.M, Sardiman. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Arini. 2011. Tujuan dan Ruang Lingkup Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI. (Online), (http://arinil.wordpress.com/2011/01/30/tujuan-dan-ruang-lingkup-mata-pelajaran-ilmu-pengetahuan-alam-sdmi, diakses 18 Juni 2011).
Dalyono, M. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dania. 2009. Teori Konstruktivistik. (Online), (http://duadania.blogspot.com/2009/05/teori-konstruktivistik.html, diakses 21 Juni 2011).
Darmodjo, Hendro., & Jenny R.E Kaligis. 1992. Pendidikan IPA II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Fatmawati, Umi. 2010. Pembelajaran Ketrampilan Proses: Inquiry dan Discovery Learning. (Online), (http://umifatmawati.blog.uns.ac.id/2009/07/17/8/, diakses 18 Juni 2011).
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Kusdiyanto. 2010. Mengapa IPA Perlu Diajarkan Melalui Teori dan Eksperimen. (Online), (http://pckus09.blogspot.com/2010/11/mengapa-ipa-perlu-di-ajarkan-melalui.html, diakses 19 Juni 2010).
Lutfiadi. 2009. Pendekatan Keterampilan Proses. Makalah. Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Marleviandra, Anto. 2009. Definisi IPA. (Online), (http://techonly13.wordpress.com/2010/06/10/definisi-ipa-2, diakses 21 Juni 2011).
Mustafa. 2010. Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas VB SD Inpres Bontomanai Kecamatan Tamalate Kota Makassar Melalui Pendekatan Kontekstual. Skripsi. FKIP Unismuh Makassar.
Moedjiono dan Dimyati. 1993. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Nasution, Noehi. 2007. Pendidikan IPA di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Ade. 2011. Pendekatan Keterampilan Proses. (Online), (http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/01/pendekatan-keterampilan-proses-dalam.html, diakses 17 Juni 2011).
Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Thanasoulas, Dimitrios. 2011. Konstruktivis Belajar. (Online), (http://www.seasite.niu.edu/Tagalog/Teachers_Page/Language_Learning_Articles, diakses 16 Juni 2011).
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.
0 komentar:
Posting Komentar
SiLahkan tinggaLkan komentar sebagai jejak bahwa Anda pernah berkunjung di zhaLabe.bLogspot.com.
Terima kasih !!!