Muamalat adalah tukar menukar
barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata cara yang
ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli, hutang piutang, pemberian
upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain. Dalam bahasan ini
akan menjelaskan sedikit tentang muamalat jual beli.
Jual beli adalah suatu kegiatan
tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk
dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.
1.
Ada penjual dan pembeli yang
keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh dan tidak
mubadzir alias tidak sedang boros.
2.
Ada barang atau jasa yang
diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar emas, dirham perak,
barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena mungkin di tempat
lain namanya salam.
3.
Ada ijab qabul yaitu adalah
ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli (penjual dan pembeli).
1.
Membeli barang di atas harga
pasaran
2.
Membeli barang yang sudah
dibeli atau dipesan orang lain.
3.
Menjual atau membeli barang
dengan cara mengecoh/menipu (bohong).
4.
Menimbun barang yang dijual
agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.
5.
Menghambat orang lain
mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.
6.
Menyakiti penjual atau pembeli
untuk melakukan transaksi.
7.
Menyembunyikan cacat barang
kepada pembeli.
8.
Menjual barang dengan cara
kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.
9.
Menjual atau membeli barang
haram.
10. Jual beli tujuan buruk
seperti untuk merusak ketentraman umum, menyempitkan gerakan pasar, mencelakai
para pesaing, dan lain-lain.
Syarat dalam jual beli terbagi
ke dalam dua:
1.
Syarat yang sah
2.
Syarat yang rusak (tidak sah)
1. Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan
konsekuensiakad
Syarat semacam ini harus
dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu ‘alaihi wasallam,
yang artinya: ”Orang-orang muslim itu berada di atas syarat-syaratmereka.”
(Hadits Hasan Sahih dalam Sahih Abu Dawud No. 2062)
Dan karena pada asalnya
syarat-syarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang oleh Syariat Islam.
Ø
Syarat jual-beli yang sahih mempunyai dua
macam:
a. Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu syarat yang akan
menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang memberikan syarat,
seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau disyaratkan nya
jaminan, hal seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga seperti
disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga sampai waktu tertentu, maka
ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masing-masing pihak menjalankan
syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau seorang
pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti keadaanya harus
dari jenis yang baik, atau dari produk si A, karena selera berbeda-beda
mengikuti keadaan dari barang tersebut.
Apabila syarat barang yang
dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat
tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli berhak untuk
membatalkan atau mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari syarat yang hilang
(yaitu dengan menuntut harga yang lebih murah, pent), dan juga pembeli bersedia
membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual memintanya (dengan harga
yang lebih tinggi jika barangnya melebihi syarat yang diminta, pent)
b. Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu seorang yang berakad
mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan manfaat yang mubah
dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati tempat penjualan selama
waktu tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu
tempat tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu bahwa,
yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjual seekor unta dan
mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah” (Mutafaq ‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya
menjual hewan tunggangan dengan pengecualian (syarat) mengendarainya sampai ke
suatu tempat tertentu, maka diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian
pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual
melakukan pekerjaan tertentu atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan
mensyaratkan kepada penjualnya untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli
darinya pakaian dengan syarat dia menjahitkannya.
2. Syarat yang rusak (tidak sah)
Ø
Jenis ini juga terdiri dari beberapa macam :
a. Syarat yang
rusak dan membatalkan pokok akad itu sendiri.
Misalnya salah seorang dari
keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat yang lain terhadap
yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan syarat engkau
memberiku ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang ini kepadamu
dengan syarat engkau mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di rumahmu.
Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini seharga ini, dengan syarat engkau
meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan membatalkan
pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam
terhadap dua jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam Misykatul
Mashabih, N0. 2798), sedang Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan hadits
tersebut dengan apa yang kami sebutkan.
b. Syarat yang rusak dalam jual
beli.
Yaitu yang membatalkan akad itu
sendiri akan tetapi tidak membatalkan jual beli. seperti pembeli mensyaratkan
terhadap penjual jika dia rugi terhadap barang dagangannya, dia akan
mengembalikannya kepadanya. Atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk
tidak menjual barang dan yang sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena
menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli mempunyai hak mutlak terhadap
penggunaan barang. Disamping itu karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam, yang artinya: “barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang
tidak terdapat dalam Kitab Allah maka syarat itu bathil, meskipun ada seratus
syarat” (Mutafaq ‘alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab Alloh di sini
adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasululloh shalallahu
‘alaihi wasallam.
Jual beli tidaklah menjadi batal
dengan batalnya syarat ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam kisah Barirah (Maula Aisyah Radhiyallahu ‘anha) ketika
penjualnya mensyaratkan loyalitas dari Barirah harus kepadanya (penjual) jika
dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membatalkan
syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya), dan beliau
bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi yang
membebaskannya” (Shahih Al Jami’ : 2226)
Maka semestinya bagi seorang
muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk mempelajari hukum-hukum jual
beli menyangkut sah tidaknya syarat-syarat jual beli, sehingga dia berada di
atas bashirah (ilmu) dalam mu’amalahnya, sehingga akan terputuslah jalan
pertentangan dan perselisihan diantara muslimin. Karena kebanyakan pertentangan
dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan pembeli atau salah satu dari
keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka membuat syarat-syarat yang
rusak (tidak sah)
1.
Haram Jual beli haram hukumnya
jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
2.
Mubah Jual beli secara umum
hukumnya adalah mubah.
3.
Wajib Jual beli menjadi wajib
hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim
dalam keadaan terpaksa.
Arti definisi/ pengertian Khiyar
adalah kesempatan baik penjual maupun pembeli untuk memilih melanjutkan atau
menghentikan jual beli.
Jenis atau macam-macam khiyar yaitu:
1. Khiyar majlis adalah pilihan menggantikan
atau melanjutkan jual beli ketika penjual maupun pembeli masih di tempat yang
sama.
2. Khiyar
syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan jual beli seperti pembeli
mensyaratkan garansi.
3. Khiyar aibi adalah pembeli boleh
membatalkan transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada barang
yang dibeli.
Arti definisi/pengertian Salam
adalah penjual menjual sesuatu yang tidal terlihat /tidak di tempat, hanya
ditentukan dengan sifat danbarang dalam tanggungan penjual.
Rukun Salam sama seperti jual
beli pada umumnya.
Syarat Salam:
1.
Pembayaran dilakukan di muka
pada majelis akad.
2.
Penjual hutang barang pada si
pembeli sesuai dengan kesepakatan.
3.
Barang yang di salam jelas
spesifikasinya baik bentuk, takaran, jumlah, dan sebagainya.
“Menjual dengan kredit artinya
bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi
secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya” [Al-Baqarah : 282]
Demikian pula, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu
membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit
(angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam
bentuk pengelabuan terhadap riba. zhalabe.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
SiLahkan tinggaLkan komentar sebagai jejak bahwa Anda pernah berkunjung di zhaLabe.bLogspot.com.
Terima kasih !!!