Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para
peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena
pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan
Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih
rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar
pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan
yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga
diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan,
psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara
pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan
peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.
Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di
abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah
saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai
peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan
dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk
kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin
dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan
kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998)
mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum
tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar
siswa.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan
tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang
meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan
sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi,
1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya
dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau
Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga
pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme
belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan
menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu
menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas
(Dahrin, 2000).
Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru,
sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah
guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan
dalam dunia pendidikan.
1. Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena
pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit
(1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21
yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi
yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi
dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5)
dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan
diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari
hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari
atau/atau ke pilihan majemuk.
Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia
pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga
kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995)
mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia
yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke
tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol
pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat
karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum
wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi
tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa
maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola
pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam
hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia
yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai
kepribadian dan budaya bangsanya.
Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998)
mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
(1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil
dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan
penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi;
(2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa,
pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi
mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan
kesatuan nasional;
(3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan
mempengaruhi corak pendidikan nasional;
(4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan
banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan
dalam keluarga sebagai intinya.Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap
dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan;
(5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan
pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman;
(6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik,
informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan,
(7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan
dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan;
(8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang
terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang
modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan
diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam
kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum,
tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan
orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang
ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan
ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme,
kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian
karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat
strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan
kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk
itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan
dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami
pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari
belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus
penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid
yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang
menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus
pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan
buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi
ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke
orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa
pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat
kompetitif.
2. Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister
(1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi
dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih
dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi
memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan
dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat
pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang
dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar
standar pengembangan profesi guru yaitu;
(1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para
guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui
perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini
melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan
dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam;
(2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru
sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan,
dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru
yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana
mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari
konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada
tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan
representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
(3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para
guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran
sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru,
mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu
dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
(4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk
guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk
menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi
terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru
sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia
Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana
uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal
Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
(1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
(2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya
serta cara mengajarnya kepada siswa,
(3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai
cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya
dan belajar dari pengalamannya,
(5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan
mempunyai;
(1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat
teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
(2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan
yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep
belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat
ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan
masyarakat Indonesia;
(3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru
merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara
LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan
disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan
birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya
paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad
21 yaitu;
(1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
(2) penguasaan ilmu yang kuat;
(3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan
teknologi;
(4) pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan
profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat
antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk
rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik
lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan
supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality
Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc
and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9)
pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program
Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional
yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan
mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis.
Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan
guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang
verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan
lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai
fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent,
inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin
2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena
guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu
bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik
agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta
desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi
aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan
keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus
mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus
mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai
profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan
nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun
isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam
pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan,
dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya
bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan
penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki
peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita
umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati
nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena
tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para
guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi.
Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari
sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai
penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak
guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal,
seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun
sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru
setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang.
Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang
memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan
kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan
kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji
berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme
guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni
profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di
luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu
untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya
standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3)
kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak
guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan
sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi
keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena
guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di
perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya
profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya
secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika
profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih
setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini
terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan
kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi
materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI
sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan
profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak
bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan
kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya
mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya
faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah
berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
3. Upaya Meningkatkan Profesionalisme
Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru
diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan
tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi
guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian
penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi
kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan
pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek
Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805
guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan
(Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk
meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok
Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya
(Supriadi, 1998).
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam
proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran,
pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat
terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi,
peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan
pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan
tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang
membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan
masyarakat.
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang
paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu
dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang
akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk
mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya
tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat
tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk
meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran
gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah
lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi
pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi
ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah
sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari
urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
0 komentar:
Posting Komentar
SiLahkan tinggaLkan komentar sebagai jejak bahwa Anda pernah berkunjung di zhaLabe.bLogspot.com.
Terima kasih !!!