Photobucket

Hibah Dan Wasiat (Hukumnya)


Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor  kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Hibah dan wasiat merupakan perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri.

Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah    dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan  setelah pewasiat wafat.

Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang  kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti  harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya  menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan  pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. 

Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177).

Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab).
 
Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang  berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.

Hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini, karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat.

Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hukum hibah dan wasiat  adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga semua Ulama fiqih  sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah.

Ketentuan wasian dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain dalam Surat Al- Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits  adalah hadits Bukhiri Muslim.
Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat  2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam  Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk  tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang  kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT.

Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI).

Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam empat mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”.

Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya.

Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.

1.    Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya.
2.    Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.
3.    Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.
4.    Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.
5.    Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan.

Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum.

Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud AzZhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.

Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24).

Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya).

Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum.

Sedangkan porsi atau hak yang diperolehpada ahli waris pengganti tergantung pada posisi ahli waris yang diganti, mungkin pada posisi mendapat bagian lebih banyak atau pada posisi mendapat bagian lebih sedikit. Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Tidak adil dirasakan dalam ketentuan fiqih, bahwa paman menghijab anak saudaranya yang mininggal lebih dahulu, padahal andaikan

Para ulama di dalam Ijtihadnya berbeda pendapat tentang Hukum Wasiat antara lain sebagai berikut :
1.    Wasiat, hukumnya WAJIB bagi setiap orang yang meninggalkan harta kekayaan. Pendapat ini dikemukakan oleh IBNU HAZM. Pendapat beliau tersebut di dasarkan pada firman Allah SWT yang tercantum pada surah An Nisa ayat (12) yang artinya : sesudah wasiat yang mereka buat atau setelah dibayar hutangnya. Ayat di atas mewajibkan pembagian waris dari harta orang yang, meninggal dunia dan mewajibkan agar masalah utang orang yang meninggal dan wasiatnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum pembagian harta warisan. Dengan dasar ini beliau memahami bahwa wasiat itu hukumnya wajib. Selain itu juga didasarkan kepada Sunnah Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Nafi yang artinya : Tiada hak seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan untuk bermalam sampai dua malam, kecuali wasiat itu wajib tertulis disisinya.

2.    Wasiat, hukumnya wajib atas orang yang akan meninggal dunia, yaitu berwasiat untuk kedua orang tuanya dan karib kerabat yang tidak mendapat pembagian harta waris. Pendapat ini dikemukakan oleh DAUD AZHZHAHIRI dan pengikutnya. Dasar pengambilan penetapan hukum ini adalah Al Quran Surah Al Baqarah ayat (180). Mereka yang mewajibkan berwasiat untuk ibu dan bapak serta karib kerabat yang berhak waris adalah telah dimansukhkan. Sedangkan kewajiban berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabat yang tidak mendapatkan hak waris karena berlainan agama atau mahjub (terdinding) adalah masih tetap.

3.    Pendapat ketiga menyatakan, bahwa wasiat adalah hukumnya Sunnat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam yang empat, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal, demikian pula pendapat Imam dari Syiah Imamiyah. Mereka berpendapat demikian dengan alasan bahwa nash Al-Qur’an pada surah An Nisa ayat 12 tidak menunjukkan pemahaman Wajib, demikian pula hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik, tidak menunjukkan wajibnya wasiat. Dalam hadits Nabi SAW, masalah wasiat diserahkan kepada kehendak orang yang akan meninggal dunia yang ditunjukkan oleh kata YURIDU yang artinya Jika dia berkeinginan atau berkehendak. Sedangkan mengenai kewajiban berwasiat yang terdapat pada Surah Al Baqarah ayat 180 telah dinasakhkan oleh ayat yang menjelaskan tentang waris. Disamping itu tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika akan wafat, meninggalkan wasiat (dalam kaitannya dengan harta kekayaan). Seandainya wasiat itu wajib, maka pastilah Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang agung itu melakukannya. Demikian alasan Jumhur Ulama Masalah Hukum Wasiat ini bisa bergeser antara : Wajib, Haram, Sunnat, Makruh dan Mubah, karena pengaruh dari luar atau masalah yang datang kemudian.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

alhamdulillah, dengan makalah ini, aku jadi mengerti tentang wasiat dan Hibah menurut berbagai mazhab. makasih ya. Barokah selalu. Amin.

Unknown mengatakan...

Alhamdulillah dengan membaca makalah ini, saya jadi faham tentang hibah dan wasiat menurut 4 mazhab. Moga selalu bermanfaat dan barokah, amin.

Posting Komentar

SiLahkan tinggaLkan komentar sebagai jejak bahwa Anda pernah berkunjung di zhaLabe.bLogspot.com.

Terima kasih !!!

(c) 2013 ZHALABE "Reading Is FundamentaL" and Powered by BLogger.